Halo, Sobat Pancarobaku. Apa kabar? Semoga sehat & sejahtera selalu, ya. Aamiin.
Nah, setelah kemarin mengupas tuntas tentang salah satu musisi tanah air, Andra Junaidi Ramadhan, kali ini Timi Time hadir dalam balutan nuansa sastra. Siapa tokoh inspiratif kali ini?
Yup, Sutardji Calzoum Bachri. Salah satu pelopor sastrawan angkatan 1970-an.
Ada yang sudah pernah dengar namanya? Atau mungkin beliau adalah idola Sobat? Ah~ harusnya anak literasi tidak asing dengan beliau.
Wah, rasanya senang sekali mimin bisa merangkum kisah hidup pujangga legenda ini. Tepat, 76 tahun lalu, Sutardji lahir sebagai sang pembawa nafas baru pada dunia perpuisian Indonesia. Sehingga membuat sosoknya dijuluki Presiden Penyair Indonesia.
Sutardji lahir pada 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Anak kelima dari sebelas bersaudara pasangan Mohammad Bachri (seorang Ajun Inspektur Polisi, Kepolisian Negara, Kementrian Dalam Negeri, Republik Indonesia di Tanjung Pinang) dan May Calzoum. Pada 1982, beliau resmi mempersunting Mardiam Linda dan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Mila Seraiwangi.
Pada 1947, Sutardji kecil mulai memasuki sekolah dasar, yang kala itu masih dijuluki sekolah rakyat, dan selesai pada tahun 1953 di Bengkalis, Pekanbaru. Beliau menempuh masa SMP-nya di Tanjung Pinang, Riau. Sutardji merampungkan pendidikannya hingga jenjang doktoral Administrasi Negara di Universitas Padjajaran.
Selain mengenyam pendidikan formal, Sutardji juga turut serta dalam pendidikan nonformal dengan aktifnya beliau sebagai peserta Poetry Reading International di Rotterdam pada tahun 1974. Pada tahun yang sama pula, bersama Gus Mus dan Taufiq Ismail, beliau hadir pada International Writing Program di Universitas Iowa, IOWA City, Amerika Serikat sejak Oktober 1947 - April 1975.
Proses kreatifnya dimulai sejak mahasiswa saat berumur 25 tahun. Sutardji mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke surat kabar dan mingguan di Bandung, dan di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Haluan, Horison, dan Budaya Jaya. Pada tahun 1971, sajaknya berjudul "O" yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra Horison. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya berjudul "Amuk" kembali dimuat.
Sutardji di kemudian hari dikenal dengan "Kredo Puisi" yang menarik perhatian dunia sastra Indonesia. Beliau berpendapat bahwa kata-kata bukan sekadar sarana untuk menyampaikan pengertian karena menurutnya, kata-kata itu sendiri adalah pengertian.
“Dalam Puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta penjajahan gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya.
Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, yang kreatif.” Itulah yang diungkapkan Sutardji Calzoum Bahri pada dalam kredo puisinya yang terkenal pada tanggal 30 Maret 1973.
Dengan demikian, menurut Sutardji, penyair harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada kata-kata agar kata-kata dapat mewujudkan diri sendiri dan menciptakan dunia pengertiannya sendiri. Kata-kata dalam sajak-sajak Sutardji dapat ditulis sungsang, dipotong, atau dibalik susunannya.
Menurut Sutardji, menulis puisi itu ialah membebaskan kata-kata dan itu berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata dan kata pertama adalah mantra. Dengan demikian, menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantra.
Mungkin bila dalam dunia novelis, maksud Ilana Tan dalam proses menulis kisah tokoh novelnya bisa disamakan dengan apa yang diungkapkan oleh Bung Tardji, "Aku tidak pernah menyuruh tokoh-tokohku melakukan tindakan tertentu atau mengucapkan kata-kata tertentu.
Aku hanya menempatkan mereka dalam suatu keadaan, lalu melihat apa yang mereka lakukan dan apa yang akan mereka katakan. Karena ini kisah mereka, bukan kisahku."
Berikut salah satu contoh puisi Sutardji Calzoum Bachri yang bebas dari kungkungan makna leksikal:
Pot
pot apa pot itu pot kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
pot pot pot
potapa potitu potkaukah potaku?
Contoh puisi di atas tampak tak bermakna dan tak mengandung amanat, hanya seperti permainan kata-kata belaka. Menurut Junus (1981), sajak-sajaknya tidak dibebani lagi oleh penyampaian amanat, karena baik amanat maupun lukisan telah diintegrasikan ke dalam strukturnya dan baru dapat dijumpai kembali setelah proses penganalisisan.
Ah~ menarik sekali.
Bagi Sutardji, menulis puisi adalah membebaskan kata-kata. Dari penggunaan gaya bahasanya, dapat dilihat bahwa beliau adalah seorang penyair kontemporer yang memiliki gaya penulisan unik, yang puisinya kebanyakan berisi perenungan mendalam akan sesuatu.
Hal itu lah yang membuat Sutardji menerima penghargaan Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand pada 1979.
Sutardji juga dikenal sebagai penyair yang cenderung bebas bergaya saat membacakan puisi. Bisa sambil melompat, tiduran, atau bahkan tengkurap di atas panggung. Menurutnya, seorang penyair perlu memiliki sidik jari atau karakter sendiri agar tak tenggelam dan dapat memberikan warna.
Sutardji juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya Hujan Menulis Ayam diterbitkan oleh Indonesia Tera, tahun 2001. Pekerjaannya sebagai redaktur puisi untuk lembaran seni "Bentara" Kompas memberinya kesempatan menulis esai.
Kumpulan esainya Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hijau Kelon & Puisi 2002 berasal dari dua esai yang mengantar kumpulan puisi "Bentara". Dia juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Saat ini Sutardji sedang menyiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul "Memo Sutardji".
Penghargaan yang pernah diterima Sutardji, antara lain:
- Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977
- Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand tahun 1979
- Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia tahun 1993
- Penghargaan Sastra Chairil Anwar tahun 1998
- Gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau tahun 2001
- Ketua Dewan Kesenian Riau (Eddy Akhmad R.M.) menabalkan bulan Juni sebagai bulan Sutardji tahun 2008
- Bakrie Award 2008
Sekali lagi, selamat ulang tahun Bung Tardji. Pandangan dan sosokmu mengenai perpuisian telah membawa nafas baru dalam dunia sastra Indonesia. Dan semoga dapat menginspirasi orang-orang dalam bersastra. Terima kasih
Yup, itu lah kilas tentang Sutardji Calzoum Bachri. Terima kasih sudah menyimak, Sobat.
Happy weekend :)