Kenapa Memilih Ilmu Komunikasi Undip?

Halo, teman-teman. Bagaimana kabar? Semoga sehat dan sejahtera selalu, ya, aamiin. Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan sedikit tentang mengapa saya memilih Komunikasi Undip. Oh, iya, artikel ini saya tujukan untuk tugas LKMMPD (Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa tingkat Pra Dasar) Komunikasi Undip 2018. Yaps, selamat membaca.



Sedikit menilik ke belakang. Saat SMA kelas satu, saya tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler (selanjutnya ditulis ekskul) apa pun. Ada rasa enggan dan takut untuk mencobanya. Mungkin juga karena saya tidak memiliki alasan khusus untuk bergabung dengan ekskul, jadi saya jadi kurang bertujuan. 

Namun, saya cukup mengamati kegiatan-kegiatan mereka, mulai dari bertanya kepada teman mengenai apa yang dilakukan ekskul menjahit dan bagaimana rasanya menjadi pengurus OSIS dan MPK, lalu menyempatkan diri untuk menilik mading sekolah. Jadi, tiap pulang sekolah dan bila ada waktu senggang, saya gunakan untuk menulis cerpen, entah itu cerpen untuk lomba atau konsumsi pribadi.

Kemudian, pada suatu waktu di awal semester dua, saya yang selalu jadi pembaca mading tidak mau kelewatan edisi baru minggu itu. Setelah membaca dan menikmati beberapa saat, tiba-tiba muncul rasa tidak puas pada konten dan dekorasi mading yang dipaparkan. 

Terlalu monoton, kering, juga masih menyisakan banyak ruang yang semestinya masih bisa dijejali beberapa artikel atau berita. Dari situ lah muncul dorongan untuk memperbaiki mading. Kemudian, saya bertanya kepada teman tentang bagaimana ekskul jurnalistik. 

Setelah memantapkan hati dan pilihan, akhirnya minggu berikutnya saya resmi bergabung dengan ekskul jurnalistik, yang notabene sama sekali tidak menarik minat saya pada saat demo ekstrakurikuler saat PPDB.

Tidak dipungkiri, ternyata saya menikmati berbagai kegiatan ekskul jurnalistik. Mulai dari meliput acara sekolah, rapat persiapan penerbitan mading, menerbitkan mading tiap dua minggu sekali, membuat konten untuk mading, pelatihan blog dan fotografi. 

Di jurnalistik pula saya mulai membangun keberanian untuk menyuarakan pendapat, terutama mengenai sesuatu yang dirasa kurang sreg bagi saya. Hingga pada akhir semester dua, saya dipercaya sebagai sekretaris tim redaksi majalah sekolah. 

Padahal awalnya saya hanya menawarkan diri sebagai editor―merapikan tulisan, isi, dan ejaan konten―karena saya paling tidak suka menemukan bacaan pada media massa yang tata letaknya kurang teratur. Itu sungguh mengurangi kenyamanan dalam membaca.

Kemudian, pada Jumat sore di semester tiga, saya dipercaya untuk memimpin ekskul jurnalistik selama satu periode―setelah melalui rembukan dan voting. Jumat berkah, hari di mana saya mulai mendapatkan dan mengalami apa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh saya. 

Bertemu dengan orang-orang hebat, memiliki teman yang selalu ada bila saya stuck, mulai memahami bagaimana menjadi seorang pemimpin. Pengalaman-pengalaman liputan―baik di dalam maupun di luar sekolah―dan bergabung dalam tim redaksi majalah adalah hal yang paling membuat saya yakin, bahwa saya memiliki passion di bidang jurnalistik dan tulis-menulis. 

Dari situlah muncul keinginan kuat untuk menjadi seorang editor konten di sebuah perusahaan media cetak―baik itu majalah, koran, maupun novel―dan seorang jurnalis.

Sejak awal masuk SMA, saya keukeuh memilih Manajemen atau Akuntansi di Universitas Brawijaya. Saya juga sempat memilih Bahasa dan Sastra Indonesia, tapi sangat diragukan oleh orang tua. Namun, pilihan itu entah bagaimana mulai berubah ketika saya bergabung, berproses, dan purna ekskul jurnalistik. 

Mungkin juga ada pengaruh dari orang-orang yang telah berada di Undip lebih dulu, sehingga membuat saya pada akhirnya memutuskan memilih Komunikasi Undip sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan, menempa diri, dan berproses menjadi seseorang yang berguna bagi orang banyak dan dapat merealisasikan apa yang telah saya rencanakan. Tetapi, yang paling membuat saya yakin pada Komunikasi Undip adalah karena Allah SWT.

Begitu tahu saya ingin kuliah di jurusan Komunikasi Undip, orang tua tidak serta merta mendukung dan menyetujui. Ayah ingin saya mengambil jurusan Akuntansi atau Manajemen, beliau ingin saya bekerja sebagai teller bank. 

Sementara Ibu, nampaknya memang tidak ingin saya kuliah, mungkin karena khawatir, mungkin juga karena faktor keuangan. Sehingga, cukup alot memang untuk mereka bisa menaruh kepercayaan dan harapan penuh pada saya akan hal itu.

Tetapi, saya yakin, sejatinya tidak ada orang tua yang enggan menolak keinginan terbesar anaknya. Meski kadang mereka tampak begitu, tapi sebetulnya itu adalah dalih untuk melindungi sesuatu. Sesuatu yang mungkin bagi kita remeh, namun tidak bagi mereka.

Kepada Mamak dan Bapak, terima kasih dan sehat selalu.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama