Dapat IP Gede? Eits, Jangan Bangga Dulu....



Halo, Sobat. Jumpa lagi dengan aku, mimin paling cantik di Pancarobaku, hehehe. Gimana kabar, Sobat? Semoga selalu bahagia dan sejahtera selalu, ya, aamiin.

Nah, karena kemarin ada kebijakan baru di Pancarobaku, jadi sekarang dan kedepannya blog (yang semoga informatif dan bermanfaat ini) akan berisi karangan bebas (opini, artikel, dsj.) dan resensi buku. Semoga tetap jadi pembaca setia Pancarobaku ya, Sobat. Terima kasih.

Oke, sesuai judul di atas, kali ini mimin akan hadir dengan membawakan sebuah opini mengenai IP atau IPK.

Yaps, pasti saat ini banyak mahasiswa di beberapa kampus yang sedang merenungkan hasil studinya selama satu semester. Ada yang gelisah karena gagal mendapat IP sesuai target, ada yang bersyukur karena melampaui target, ada pula yang pasrah-pasrah saja apa adanya. Yang pasti, apa pun hasilnya baiknya tetap disyukuri dan dijadikan motivasi untuk mendapatkan IP yang lebih baik di semester depan.

Oh, iya, mungkin di sini ada Sobat yang belum tahu apa itu IP atau IPK?
Kalau gitu, mimin ulas sedikit, ya. Singkatnya, IP merupakan nilai yang didapat tiap semester. Sedangkan IPK merupakan akumulasi atau gabungan nilai dari semester-semester yang telah dijalani. Untuk mendapatkan kedua nilai tersebut, harus mengikuti UAS lebih dulu, dan pastikan sudah menyelesaikan semua tugas kuliah yang diberikan.

IP merupakan momok yang diwaspadai kemunculannya tiap akhir semester. Tentunya tiap mahasiswa tidak mau mendapat IP dengan nilai kecil karena dapat merusak martabat dan kepedean mereka di hadapan orang-orang tertentu (misal, calon mertua, pacar, dosen, rival, bahkan teman seperjuangan). 

Sebaliknya, dapat IP dengan nilai gede akan menjadi kebanggan diri sendiri, karena dapat dijadikan status WhatsApp, hal yang dapat membanggakan orang tua, bahan obrolan orang tua dengan orang tua lain, jadi bisa cepat ambil skripsian, juga motivasi untuk terus berprestasi.

IP sudah seperti mahkota yang harus dijaga kedudukannya agar tetap berdiri tegak dan stabil. Hingga, banyak ragam usaha untuk memperjuangkan nilai IP cumlaude. Mulai dari begadang tiap malam satu minggu sebelum ujian, belajar tiap hari meski tidak ada tugas dan ujian, rajin tanya-tanya kakak tingkat tentang bagaimana mendapat IP bagus, minum suplemen kecerdasan otak dan daya tahan tubuh, dsb. 

Beberapa mahasiswa juga kerap melakukan transparansi nilai kepada dosen, meski nilai yang didapat B. Tak jarang, bila ada mahasiswa yang melakukan hal-hal seperti itu akan mendapat julukan ambis dan kutu buku dari orang lain. Iya, ambis memang bagus, tapi terlalu berambisi juga tidak bagus (untuk diri sendiri juga orang lain). 

Namun, Sobat, sebaiknya jangan terlalu mengelu-elukan mendapat IP sempurna. Patok target minimal 3,4 sudah cukup, kok. Karena seperti yang sudah Sobat ketahui, IP bukan penentu mutlak kesuksesan masa depan mahasiswa. 

Alih-alih memperjuangkan seluruh hidup selama satu semester untuk IP sempurna hanya dengan melakukan hal-hal seperti contoh di atas, bukankah akan lebih baik juga aktif berorganisasi, mengembangkan bakat, dan memperkaya pengalaman? Kenapa? 

Seperti yang sudah Sobat ketahui (lagi), skill lah yang akan lebih digunakan saat memasuki dunia kerja dengan persaingan yang sangat keras, bukan seabrek teori yang dipakai untuk menghasilkan IP. Oh, relasi juga kadang menentukan masa depan, lho.

Kembali lagi, yang akan mimin soroti kali ini adalah mengenai kualitas mahasiswa ber-IP tinggi, atau katakanlah cumlaude. IP dan IPK merupakan tolok ukur seberapa luas wawasan dan pengetahuan mahasiswa pada mata kuliah atau studi ilmu terkait dengan jurusan yang diambil. 

Juga, seberapa mampu mahasiswa untuk menganalisis dan menjawab dengan baik persoalan yang melanda realita kehidupan. Teorinya mahasiswa ber-IP gede pasti bisa, sedangkan mahasiswa ber-IP kecil cenderung diremehkan. Namun, teknisnya tidak selalu begitu.

Misalnya, bila ada mahasiswa Ilmu Hukum ber-IP 3,4 yang bila ditanya, "Berapa jumlah ketukan yang dilakukan presidium 1 untuk memberi peringatan kepada peserta sidang?" Ia tidak bisa menjawab. Orang pasti akan langsung skeptis menganggap, "Lho, gimana, sih, IP 3,4 gitu aja nggak bisa jawab." 

Padahal (menurut mimin sebelah yang anak Hukum, aturan sidang secuil itu harus sudah melekat di otak anak Ilmu Hukum). Itu baru dari segi aspek pertanyaan terkait studi ilmu yang diambil. Lalu bagaimana bila sampai seorang mahasiswa ber-IP di atas 3,3 tidak tahu apa itu KRS?

Nah, dengan adanya masalah semacam itu, bila sobat yang berada di posisi seperti itu bagaimana akan mempertanggungjawabkan IP gede yang telah terpampang nyata di KHS? Ya, tinggal jawab, "Aduh, sori, lupa. Maklum lah, kan daya ingat tiap orang beda-beda." Hahahaha, bercanda, plis jangan lakukan, itu bukan alasan yang bermutu.

Misalnya lagi, ada seorang mahasiswa Komunikasi yang tiap semesternya ber-IP tidak lebih dari 3,5 (karena sibuk dengan berbagai aktivitas LPM dan organisasi lain) ketika ditanya orang lain, 

"Bagaimana cara memproduksi sebuah berita dan membuat esai yang baik." Ia dapat menjelaskan dengan runtut. Nah, itu malah lebih baik karena ia tidak hanya belajar dari teori, namun juga dari praktik di organisasi.

Oke, itu adalah sekelumit pertanyaan sederhana yang bila tidak tahu jawabannya dalam waktu itu juga akan berpotensi mendapat tatapan remeh dan cemoohan dari orang lain. Kasusnya hampir sama dengan seperti mahasiswa Komunikasi tapi tidak bisa berkomunikasi dengan baik, mahasiswa Psikologi kok, masih stres. 

Contoh kasus di atas memang tidak bisa digeneralkan, karena kepandaian tiap orang ada pada tempatnya sendiri. Mungkin si A pandai di bidang ini, namun tidak di bidang itu. Yang ingin mimin tekankan lagi di sini adalah agar diri kita (kita?) dapat merepresentasikan IP gede yang kita dapatkan.

Oleh karena itu, dapat IP gede itu tidak selalu membahagiakan, Sobat. Bagi mimin pribadi, justru sebuah tantangan dan masalah baru: apa aku benar pantas dapat IP gede begini, apa pengetahuanku yang hanya melekat kuat bila saat ujian dan yang hanya terlihat di lembar jawaban tidak seberapa itu pantas mendapat nilai bagus begini, bagaimana cara mempertahankannya. 

Hal ini memang tidak terjadi pada semua mahasiswa ber-IP cumlaude. Namun, pasti ada yang mengalaminya, meski mungkin jarang disadari. Oleh karena itu, hendaknya perdalamlah studi ilmu yang lebih relevan atau menjurus pada prodi yang diambil. 

Jangan hanya belajar saat hendak ujian, kalau seperti itu ya kurang baik juga pada akhirnya. Juga jangan hanya belajar di dalam kelas, namun mulailah untuk membaur di organisasi dan komunitas.

Nah, jadi, buat yang dapat IP nggak sempurna atau di bawah cumlaude, jangan sedih. Yang merasakan resah bukan hanya kau seorang. Untuk yang mendapat IP mencapai dan melebihi target, tunjukan kalau IP-mu juga mewakili kualitas dirimu, karena itu tidak mudah, Sobat :')

Yaps, sekian opini mimin kali ini. Mohon maaf bila ada kekeliruan, mimin masih manusia. Semoga postingan ini bermanfaat. Silakan tinggalkan komentar dengan baik di kolom komentar. Terima kasih sudah mau berkunjung dan menyimak. Sampai jumpa di postingan berikutnya ^^
إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم