Bagaimana kabar kalian kawan?
Semoga selalu dilimpahkan kenikmatan dan keselamatan. Kali ini Pancarobaku akan membahas beberapa hal sensitif yang jarang diangkat ke permukaan. Ya, ini adalah sebuah bentuk kritik agar dapat terciptanya sebuah keterbukaan dan keselarasan satu sama lain. Tak ada niat menjatuhkan, hanya ingin menyampaikan opini saja tentang betapa indahnya realita saat ini.
Sekolah. Apa yang kalian bayangkan mengenai sekolah? Tempat belajar? Menuntut ilmu? Uang jajan?
Ya. Semuanya kita dapatkan di sini. Sekolah sangat luas makna dan tingkatannya. Kita persempit menjadi SMA saja.
Sekolah Menengah Atas. Sekarang, apa yang kalian bayang tentang SMA? Jelas berbeda bukan dengan TK dan Paud? Bagi siswa saat ini (2018) mungkin SMA sudah seperti rumah kedua. Pagi siang sore di sekolah. Hanya ketika malam dapat menikmati nikmatnya rumah. Tapi, apakah kawan sudah kenal betul dengan sekolah yang dianggap sebagai rumah itu sendiri?
Berapa anggaran belanjanya?
Bagaimana pembangunan dan pendistribusian dananya?
Apakah dana untuk ekstrakurikuler sudah sesuai dengan yang dianggarkan?
Uang yang kita bayarkan lari ke mana?
Sistemnya seperti apa?
Ketika kita masuk dalam organisasi siswa, entah itu OSIS atau yang lainnya. Seharusnya kita tahu berapa dana yang dialokasikan untuk kita kelola. Dari pihak birokrasi sekolah pun seharusnya terbuka akan hal tersebut.
Membeberkan semua RAPBS selama satu tahun yang sudah disepakati bersama. Serta berapa yang dialokasikan untuk siswa dalam mengembangkan minat dan bakatnya. Jadi, kalo memang dana yang dialokasikan kurang dari yang diharapkan, selaku pengurus organisasi pun dapat bergegas untuk menutup kekurangan tersebut dengan mencari dana lewat sponsor maupun usaha lain.
Kalau dari segi keterbukaan saja LEMAH, bagaimana pengurus organisasi selaku pelaksana kegiatan dapat merencanakan programnya?
Kalau kita membuat acara besar, ternyata alokasi dana minim kan, kita juga yang sulit. Kalau kita membuat acara kecil namun ternyata alokasi dananya melimpah, mau kita apakan sisanya? Di ke manakan sisanya? Kalau kita kembalikan apakah sudah pasti kembali ke negara?
Apa susahnya sih, terbuka?
Okey, sekarang kita bayangkan SMA yang sedang kita bahas adalah SMA yang entah ada di mana dan sangat jauh di sana. Indonesia kan, jujur. Tak mungkin ada hal seperti ini di Indonesia. Kita namakan saja Negeri Dagelan.
Di Negeri ini juga, terkadang ada beberapa oknum guru yang tidak masuk akal. Sripilan sana-sini. Bukankah sekolah itu fungsinya untuk mencerdaskan anak? Saya pernah menyaksikan ketika saya tour ke negeri tersebut, ada oknum guru di suatu sekolah yang membuat gebrakan yang sungguh keliru menurut pendapat saya.
Ketika siswa mendapatkan nilai di bawah rata-rata tentu saja akan diadakan remidial, atau pengulangan, agar kemampuan siswa tersebut diperbaiki dan paling tidak memiliki standar rata-rata. Namun, remidial itu malah menjadi ajang sripilan, Bung.
Siswa yang medapat remidial dituntut untuk membayar sejumlah uang agar dirinya lolos tanpa perlu susah-susah mengerjakan tugas perbaikan. "Membayar saja cukup, kok." Itukah esensi pendidikan yang sesungguhnya?
Sumber : Anime One Piece |
Tak hanya itu. Ada Oknum guru juga yang menjadi penjual buku dadakan. Lucunya, ada beberapa hal yang tak lumrah di sana. Saya jabarkan, Bung :
1. Buku itu hasil fotocopy, dan saya yakin harga yang dipatok oleh oknum tersebut 2x lipat dari harga asli hasil fotocopy pada umumnya.
2. Siswa dilarang fotocopy atau memperbanyak buku itu sendiri, hal itu terkait hak cipta katanya. Pokoknya harus beli ke beliau. Tak boleh protes.
3. Di sekolah tersebut sebenarnya sudah ada koperasi, semua buku pendamping pun seharusnya diatur oleh koperasi. Dan anehnya oknum tersebut tidak berurusan dengan koperasi sama sekali. Ketika ada yang mengadu ke koperasi pun koperasi hanya bilang itu tidak sesuai prosedur. Dan tidak ada tidak lanjut apa pun dari koperasi, hanya pasrah.
4. Ketika ada siswa yang protes akan harga buku, oknum berikut hanya berdalih, "Saya juga kan, harus membayar hak ciptanya."
Sangat tak masuk akal.
Untung bukan di Indonesia.
Dan setelah ada siswa yang berani menyampaikan hal tersebut kepada komite sekolah dan beberapa pihak yang mengerti, sripilan tersebut dapat berhenti sementara waktu. Entah saat ini.
Salahkah siswa meminta haknya untuk dipermudah dalam menuntut ilmu? Salahkah siswa berbicara ketika dia menemukan hal tak lazim yang dilakukan oleh orang tuanya? Tak hormat? Tiada takdim? Silahkan kawan nilai sendiri mana yang baik menurut kawan.
Bukan hanya itu, segala acara yang ada di sekolah itu pun cenderung dibatasi. Ketika siswanya ingin memakai lapangan sekolah untuk futsal saja susahnya minta ampun. Alasannya: hari libur tak boleh ada kegiatan lah, jika sudah sore harus pulang lah, dsb.
Bahkan, ketika ada organisasi dari luar ataupun alumninya sendiri yang punya niat baik untuk sekadar silaturahmi atau memberikan sosialisasi saja dipersulit. Prasangka di sana-sini. Harus mengikuti aturan birokrat yang cenderung menghabiskan uang yang tak perlu.
Tujuannya apa? Ya, biar turun uang anggarannya. Walaupun bukan birokrat yang menjalankan, orang lain yang capek, orang lain yang dituduh sana-sini. Masa bodoh. Yang penting duit negara turun, duit cair, kegiatan jalan. Panitia? Urusan belakang. Bagimana mau maju?
Sekali lagi.
UNTUNG, SEKOLAH INI BUKAN DI INDONESIA.
Berani jujur itu harus!
Kalau pendidikan hanya untuk proyek rendahan seperti itu, untuk apa?
Tak ada guna. Cerdaskan anak bangsa. Itu tujuan utamanya, kan? Kalau tujuannya selain itu, bongkar saja. Jadikan kolam pemancingan. Selain berguna untuk tempat wisata warga juga jadi banyak ikan yang terjaga. Siapa tahu ada yang kepancing yakan? 😊
Jayalah Indonesiaku.